29 Oktober 2016

review: Omen (Omen #1)


Aku terus-menerus melawan kegelapan itu. Aku tidak ingin menjadi pencuri, penindas, apalagi pembunuh. Terlebih lagi, aku tidak betul-betul ingin menjadi Omen seperti yang diramalkan semua orang. —hal. 41


Judul: Omen
Seri: Omen #1
Penulis: Lexie Xu
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 312 halaman
Tahun cetak: Februari 2013—ketiga (Pertama: September 2012)
ISBN: 978-979-22-8795-0

Rating: 5/5 bintang

----------

Erika Guruh dan Eliza Guruh adalah saudara kembar yang sangat berbeda walau mereka kembar identik. Eliza dikenal sebagai anak yang baik seperti malaikat sehingga disukai banyak orang, sedangkan Erika dikenal sebagai biang kerok dan ditakuti banyak orang. Walaupun kembar, hubungan keduanya tidak bisa dikatakan baik. Keduanya saling tidak menyukai satu sama lain.

Suatu hari, SMA Harapan Nusantara dihebohkan dengan kejahatan yang terjadi pada Eliza. Ia ditemukan sudah tertusuk di sebuah konstruksi bangunan yang belum selesai. Semua bukti yang ada mengarah kepada Erika, apalagi semua orang tahu bahwa Erika tidak menyukai Eliza. Selain itu, Erika juga dikenal dan dijuluki Omen karena ia dirasa mirip dengan anak kecil dalam film The Omen. Erika juga ditemukan menjadi orang pertama yang ada di tempat kejadian penusukan korban-korban berikutnya.

Semuanya menjadi makin runyam ketika Erika sendiri ragu terhadap dirinya. Ia juga merasakan ada hal yang berbeda pada dirinya setelah kegiatan karyawisata yang diikutinya. Valeria Guntur dan si Tukang Ojek—tukang ojek langganan Erika—yakin bahwa Erika tidak bersalah. Valeria dan si Tukang Ojek percaya pada Erika bahwa meski ia dijuluki Omen, ia tidak akan tega melakukan hal keji terhadap kembarannya. Bersama-sama, Erika, Valeria dan si Tukang Ojek berusaha mencari tahu siapa pelaku penusukan yang sebenarnya.

----------

Agak menyesal baru mulai baca novel ini sekarang. Ya memang, dulu nggak berani karna cover-nya cukup sukses bikin nggak bisa tidur ketika lihat buku ini ada di tumpukkan lemari dan menghadap ke tempat tidur. Cover-nya yang hitam dengan darah-darah membuat aku jadi parno duluan sebelum baca. Tebakan pertama dulu (tanpa peduli pendapat teman-teman yang sudah baca dan jatuh cinta sama ceritanya), buku ini pasti horror. Selain itu, aku bukan tipe pembaca genre misteri. Dulu pernah coba dan sukses berhenti ditengah-tengah buku karena pusing. Dan, karena penasaran kenapa banyak yang jatuh cinta sama buku ini sampai tergila-gila sama tokohnya (yang namanya berhubungan sama cuaca) dan ceritanya yang ‘katanya’ keren. Aku putuskan mulai baca seri ini yang kebetulan aku tahu sudah selesai sampai buku terakhir.

Omen bercerita tentang kasus penusukan terhadap Eliza Guruh yang diikuti dengan beberapa kali penusukan terhadap korban lainnya yaitu Ferly dan Anus atau Martinus. Semua penusukan ini mengarah kepada Erika sebagai tersangka. Erika sendiri juga ragu terhadap dirinya karena dia bisa merasakan ada sesuatu yang ‘bangun’ di dalam dirinya setelah ia dihipnotis di acara karyawisata sekolahnya.

Buku ini dimulai dengan cerita dari POV Eliza dan langsung muncul juga masalah dari buku ini yaitu kasus penusukan terhadap dirinya. Kemudian dilanjutkan dengan POV Erika dan beberapa kali Valeria. Karena novel ini adalah kategori teenlit dan diceritakan dari POV tokoh yang masih remaja, bahasanya benar-benar santai. Selain itu, meski buku ini tentang misteri tapi hampir lima puluh persen buku ini dipenuhi jokes. Jokes yang ada sebenarnya terbentuk dari interaksi Erika dengan beberapa tokoh khususnya Pak Rufus, Ketiga Sohibnya—Daniel, Amir dan Welly dan si Tukang Ojek—sebenarnya orang ini ada namanya, tapi nggak seru kalau dikasih tahu.
Sepanjang buku ini, peran Valeria nggak terlalu mendominasi. Malah rasanya, yang melakukan penyelidikan sebenarnya si Tukang Ojek dan Erika sendiri. Tanpa Valeria pun mungkin kasus ini bisa dipecahkan. Tapi, kehadiran Valeria nggak bisa dipungkiri cukup stand-out karena dari banyaknya orang yang menuduh Erika karena mereka mengenal Erika, Valeria malah membela Erika padahal dia nggak kenal Erika. Meski begitu, mungkin kasus ini akan jadi jembatan untuk buku-buku selanjutnya.

Cukup bingung untuk memutuskan siapa penjahat di buku ini karena lebih banyak diceritakan oleh pihak yang nggak tahu apa-apa sekaligus tersangka yaitu Erika. Tapi, sejak awal buku ini aku sudah merasa kalau Erika memang nggak salah dan penjahat sebenarnya samar-samar untuk ditebak. Sepanjang baca, aku sudah menetapkan penjahat yang aku pilih dengan percaya diri dan ketika diakhir semuanya salah besar. Seperti buku-buku misteri lainnya yang menggemaskan-tapi-bikin-ketagihan penjahatnya di luar dugaan. Sangat-sangat diluar dugaan. Tapi itulah yang buat seru. Ending buku ini manis dan sukses buat senyum puas. Dan, makin membuat tertarik untuk buru-buru baca buku keduanya.

Tokoh favoritku dalam buku ini adalah si Tukang Ojek. Dia adalah orang yang tetap dan selalu ada disamping Erika walaupun Erika adalah buronan. Di samping itu, interaksinya dengan Erika juga menyenangkan dan penuh candaan jadi buku ini nggak terkesan kaku banget.