07 Mei 2018

review: Touché—Rosetta (Touché #3)


Judul: Touché—Rosetta
Seri: Touché #3
Penulis: Windhy Puspitadewi
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 200 halaman
ISBN: 9786020351162

Rating: 4/5 bintang

--------

Edward Kim memiliki kemampuan untuk memahami semua tulisan dalam bahasa apa pun meski dirinya belum pernah mendengar bahasa tersebut atau bahkan bahasa tersebut telah mati. Ia bisa memahami tulisan tersebut melalui sentuhan. Namun, kemampuannya hanya bisa digunakan pada tulisan yang ditulis langsung dengan tangan, bukan hasil cetakan atau berbentuk digital. Karena kemampuannya, Edward direkrut oleh Profesor Fisher di British Museum untuk membaca dan menerjemahkan berbagai prasasti dan naskah kuno. Alasan kuat Kim mau melakukannya adalah adanya imbalan yang didapat dari kemampuannya. 

Suatu hari Profesor Hamilton, rekan kerja Profesor Fishcer ditemukan tewas di rumahnya. Tewasnya Profesor Hamilton mempertemukan Kim dengan Yunus King. Pertemuan Edward dengan Yunus King membuat Edward mengetahui bahwa dirinya adalah touché. Edward kemudian terseret kedalam misteri kematian Profesor Hamilton. Yunus bersama Ellen Hamilton—anak angkat Profesor Hamilton—dan Edward berusaha mencari tahu siapa pembunuh Profesor Hamilton melalui buku kuno yang tersimpan di dalam berangkas pribadi Profesor Hamilton. Yunus percaya bahwa buku kuno tersebut menyimpan identitas sang pembunuh serta informasi mengenai touché. Namun, usaha mereka untuk menyingkap siapa pembunuh Profesor Hamilton tidaklah mudah, bahkan nyawa Edward dan orang sekitar bisa jadi taruhannya.

----------

Cerita ketiga dari seri Touché bercerita tentang Edward Kim yang punya kemampuan untuk memahami makna dari sebuah tulisan. Melalui sentuhannya, Edward bisa mengetahui tujuan dan makna tulisan oleh penulis dalam berbagai bahasa. Tapi kemampuannya tidak bisa digunakan pada hasil cetakan atau tulisan digital. Dengan kemampuannya inilah, Edward akhirnya terseret kedalam misteri kematian Profesor Hamilton. Misteri di buku ini lebih seru dan lebih rumit daripada di kedua buku sebelumnya. Bukti yang ada tidak dengan mudah menunjukkan siapa sebenarnya pelakunya. Tapi kalau cukup jelih, memang ada beberapa clue yang diberikan penulis lewat beberapa scene dalam buku ini.

Di buku ketiga ini aku pribadi merasakan adanya peningkatan yang baik dalam seri ini. Dari segi teka-teki yang ada, di buku ketiga ini lebih sedikit rumit daripada buku kedua. Apalagi untuk menjawab teka-teki yang ada, analisis yang diberikan lebih mendalam dan rumit. Salah satunya ketika Yunus, Ellen dan Edward harus memecahkan makna dari tulisan pada buku kuno di berangkas Profesor Hamilton tentang kaum touché. Analisis dan penjabaran tentang karya seni dijelaskan dengan detail. Rasanya seperti lagi nonton serial Detective Conan dan mengikuti Conan menganalisis dan membuat hipotesa-hipotesa tentang siapa pembunuhnya. 

Seperti di buku kedua, tokoh penghubung dari seri ini yaitu Yunus King muncul kembali. Namun, kalau di buku-buku sebelumnya ia merupakan tokoh yang minor dan sedikit disinggung, di buku ini Yunus jadi salah satu tokoh pembantu yang berperan aktif membantu menyelesaikan misteri yang ada. Hal yang menarik dari buku ketiga ini adalah ada keterkaitan antara buku ketiga dan buku kedua yang sangat terlihat. Jadi, di buku ketiga ini, ada beberapa scene di mana Hiro Morrison dari buku kedua akan muncul karena ada satu benang merah kejadian yang menghubungkan. 

Aku suka dengan keunikan-keunikan yang ada pada tokoh-tokohnya. Keunikan yang mereka punya benar-benar mendukung jalannya cerita. Aku suka tokoh Edward, menurutku dia seperti Hiro yang diberi tambahan dan pengurangan di beberapa bagian. Edward punya alasan tersendiri mengapa dia mau bekerja pada Profesor Fisher, sifatnya agak ngeselin dan diam-diam perhatian. Ellen memiliki kemampuan eidetic atau kemampuan visual yang kuat. Hubungan antara Elle-Edward menarik buatku mengingat sifat mereka yang seperti bertolakbelakang tapi sebenarnya nggak begitu. Aku juga suka hubungan antara Elle, Edward an Yunus dalam memecahkan misteri yang ada. 

Sama seperti buku-buku sebelumnya, buatku buku-buku dalam seri ini memang page-turner.  Menurutku itu karena bahasa yang digunakan ringan dan tepat sasaran. Selama membaca nggak ada bagian yang menurutku membosankan untuk diikuti, alurnya berjalan pas dan rapi. Nggak ada bagian yang rasanya sia-sia untuk diceritakan. Aku suka cara buku ini dieksekusi! Endingnya benar-benar nggak terduga. Akhir dari buku ini benar-benar membuat aku mau menunggu.

Manusia itu pada dasarnya takut pada hal yang tak mereka pahami — Profesor Fischer, hal. 163

Tidak ada komentar:

Posting Komentar